Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa berpotensi menjadi calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Solo 2020. Bahkan, analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, kemungkinan besar Gibran akan maju melawan kotak kosong. PDIP saat ini menguasi DPRD Solo dengan 30 dari 45 kursi DPRD Solo.
Sementara partai partai lain berbagi 15 kursi, PKS mengantongi lima kursi, Gerindra, PAN dan Golkar masing masing tiga kursi dan PSI satu kursi. Apalagi, Solo adalah kandang banteng dan rumah yang melahirkan seorang Joko Widodo (Jokowi). Lantas siapa yang berani menantang anak Jokowi di Pilkada?
Terkait dengan hal itu, Pengamat Sosiolog Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono memberikan tanggapannya. Drajat mengakui, bahwa kekuasaan PDIP di Solo sangat kuat. Apalagi, FX Hadi Rudyatmo sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) juga memiliki pengaruh yang cukup bagus.
Tak hanya itu, menurut Drajat, di Solo ada kultur perkewuh atau tidak enak yang masih tertanam kuat di masyarakat. "Tetapi saya lihat tidak hanya sekedar DPC sebenarnya, tapi ada kultur politik yang ada di Solo." "Jadi gini, kalau ada orang punya hajat itu pasti begini 'kepada orang tua dan yang saya tuakan, yang selalu saya ikuti nasihatnya, kepada para pejabat negara yang selalu saya hormati, saya ikuti' jadi ada kata itu."
"Ada kata penghormatan yang sangat tinggi bagi orang Solo kepada orang yang memiliki jabatan. Jadi siapa yang memiliki kekuasaan itu pasti dihormati," papar Drajat. Maka dari itu, lanjut Drajat, kalau berasal dari orang yang punya sumber kekuasaan maka tentu akan sangat dihormati. Namun, urusan menjadi lain ketika sudah tidak lagi berkuasa.
Maka dalam kasus Gibran yang merupakan anak dari Presiden Jokowi, penghormatan itu pasti ada. "Ini kita tahu bahwa yang berkuasa itu bapaknya (Jokowi) maka anaknya (Gibran) juga kita harus hormati," terangnya. Lantaran hal itu, majunya Gibran dalam kontestasi Pilkada 2020 membuat orang menjadi kikuk, sehingga kemungkinan besar tak ada yang berani melawan Gibran di Pilkada Solo 2020.
"Orang Solo menjadi kikuk istilahnya itu menjadi perkewuh politik, 'nanti kalau saya maju seolah olah saya melawan pejabat', nah ini nggak sopan bagi Solo, 'tapi kalau saya nggak maju kok gini, yaudah pasrah saja'," ungkapnya. Drajat mengakui, ada suasana yang seperti itu di Solo. Apalagi, Jokowi pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo yang sukses dan disegani oleh masyarakat Solo.
Drajat beranggapan, bahwa Jokowi sebenarnya ingin menjadikan putra sulungnya, Gibran meneruskan apa yang telah dilakukannya. Hanya saja, Jokowi dulu memang benar benar memulai karier politiknya dari bawah, tak dikenal banyak orang hingga sukses menjadi presiden karena kinerjanya selama menjabat Wali Kota Solo. Sementara Gibran, lanjut Drajat, memulai karier politiknya dari nama besar sang ayah yang saat ini masih menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
"Jadi dia (Jokowi) itu semacam kayak kalau di Solo menyebutnya 'Satria Piningit', orang yang punya kharisma dari Tuhan sehingga menang dan ini mau di cloning ke putranya." "Kalau Pak Jokowi dulu itu mungkin Tuhan yang memberi petunjuk, tapi kalau Mas Gibran ini jelas bapaknya yang ada di belakangnya," paparnya. Bahkan, menurut Drajat, kalaupun ada orang yang akhirnya maju dalam kontestasi Pilkada Solo melawan Gibran kemungkinan besar tidak akan menang.
"Jadi agak perkweuh politiknya, malah orang orang Solo mikir mikir ya." "Ini mungkin yang diperlukan kambing kurban bukan kambing hitam kalau kambing hitam kan yang dikenai kesalahan." "Kambing kurban itu orang yang maju nanti disembelih, mesti kalahnya," tandasnya.