Nelayan Terpaksa Berhenti Melaut Imbas dari Kapal-kapal China di Perairan Natuna

Masuknya kapal kapal ikan dan kapal coast guard China di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sejak 10 Desember 2019 membuat sejumlah nelayan di Kabupaten Natuna berhenti melaut. Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal mengatakan untuk sementara para nelayan harus berkebun guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari hari. Meski begitu, ia belum bisa memastikan terkait jumlah nelayan Indonesia yang sementara berhenti melaut.

Ia mengatakan, nelayan nelayan Indonesia takut melaut ke wilayah tersebut karena kapal Chona kerap menakut nakuti mereka. "Mereka mau menabrak perahu nelayan kita kalau tidak lari," kata Rizal. Ia pun menilai, langkah yang dilakukan Badan Keamanan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta TNI untuk mengintensifkan pengamanan di wilayah tersebut sudah sangat tepat.

Ia pun berharap agar nelayan Natuna dapat segera kembali melaut tanpa rasa was was. "Saya kira itu yang tepat sehingga nelayan kita tidak was was lagi untuk melaut karena sudah ada yang mengamankan mereka di laut kita," kata Rizal. Erdasarkan pantauan Bakamla RI, dua kapal coast guard Cina masih berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau, Minggu (5/1/2020) pukul 17.00 WIB.

Sementara tiga kapal coast guard Cina dan kapal ikan lainnya terpantau berada di luar ZEE Indonesia. Tidak hanya itu, Bakamla juga masih melihat sejumlah kapal ikan Cina yang beroperasi di perairan tersebut. Direktur Operasi Laut Bakamla RI, Laksamana Pertama Bakamla Nursyawal Embun, mengatakan hingga pukul 17.00 WIB terpantau ada lima coast guard Cina.

"Tapi dari lima hanya ada dua yang berada di garis yurisdiksinya Indonesia yaitu di ZEEI kita dan yang tiga masih berada di luar. Lalu ada beberapa kapal ikan Cina juga termonitor," kata Nursyawal. Ia mengatakan, saat ini Kapal Negara Tanjung Datu milik Bakamla dan sejumlah kapal Perang Republik Indonesia (KRI) masih berada di perairan tersebut untuk terus memantau pergerakan kapal ikan dan coast guard Cina yang masih beraktifitas di perairan tersebut. Rencananya, satu kapal lagi milik Bakamla dan tiga kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga akan bergabung melaksanakan penegakan hukum di perairan tersebut.

"Ini kalau misalkan nanti juga sudah bergabung dan kalau menemukan lagi kapal ikan Cina di perairan yurisdiksi kita, kita mungkin akan kontak radio dan mungkin akan melakukan penangkapan. Karena itu sudah bukan wilayah mereka. Belum ada klaim resmi dari Cina," kata Nursyawal. Terkait dengan langkah konkret penegakkan hukum berupa penangkapan, menurutnya hal itu dimungkinkan. Tetapi semuanya tergantung dari keputusan Komandan pengamanan di lapangan.

"Ya pokoknya nanti, seperti yang sudah saya sampaikan, memang cuma tiga institusi yang punya kewenangan di wilayah yurisdiksi, hak berdaulat kita. Nanti tinggal komandan di lapangan yang akan mengambil keputusan apabila memang kita masih bertemu dengan kapal ikan Cina yang masih beraktifitas di perairan yurisdiksi kita," kata Nursyawal. Nursyawal menjelaskan, saat ini pemerintah masih menerjunkan kapal Bakamla dan KKP yang akan bergabung untuk melakukan penegakan hukum karena kapal coast guard dan kapal ikan Cina adalah kapal sipil. Meski begitu, ia memastikan sejumlah kapal dari unsur TNI AL khususnya Kogabwilhan I juga telah berada di sana untuk mendukung pengamanan wilayah kedaulatan Indonesia yang sudah ditetapkan UNCLOS 1982 tersebut.

"Karena aktifitas itu kan dilakukan oleh kapal kapal non militer ya. Artinya Coast Guard itu adalah kapal sipil. Makanya kita yang di depan harus kapal KKP dan kapal Bakamla. Nanti KRI akan memback up," kata Nursyawal. Ia mengatakan, sejauh ini telah melakukan kontak radio dan coba mengusir kapal coast guard Cina dari wilayah perairan ZEEI. Meski begitu, upaya tersebut juga mendapat perlawanan berupa manuver manuver penghalangan dari kapal coast guard Cina.

"Tanggal 31 Desember kemarin KRI bertemu dengan kapal Coast Guard Cina, di saat KRI ingin menghadang, mereka melakukan manuver manuver menghalang halangi upaya KRI," kata Nursyawal. Dari hasil pantauan Bakamla, ia mengatakan hari ini belum melihat kapal nelayan Indonesia yang berada di wilayah yurisdiksi perairan Indonesia tersebut. Meski begitu, ia menilai ada baiknya jika kapal nelayan Indonesia juga berada di wilayah tersebut untuk menangkap ikan agar keadannya berimbang.

"Sejauh ini kami belum memonitor kalau ada kapal ikan Indonesia yang berada di sana. Ada bagusnya juga kalau mungkin ada kapal ikan Indonesia di sana untuk perimbangan, jadi adil kapal ikan Indonesia ada di sana," kata Nursyawal. Diberitakan sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan empat poin sikap pemerintah Indonesia atas masuknya sejumlah kapal nelayan dan Coast Guard Cina ke Perairan Natuna sejak beberapa hari lalu. Sikap tersebut disampaikan secara tegas usai Rapat Paripurna Tingkat Menteri yang bertujuan untuk menyatukan dan memperkuat posisi Indonesia dalam menyikapi situasi di Perairan Natuna di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat pada Jumat (3/1/2020).

Rapat tersebut dipimpin oleh Menko Polhukam Mahfud MD dan dihadiri oleh Panglima TNI Mersekal TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Siwi Sukma Adji, Kepala Bakamla Laksamana Madya A Taufiqoerrahman, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. "Pertama, telah terjadi pelanggaran oleh kapal kapal Tiongkok di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia," kata Retno. Kedua, Retno menegaskan wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hukum laut yakni UNCLOS 1982.

Ketiga, Retno menegaskan Tiongkok merupakan salah satu pihak dalam UNCLOS 1982. Oleh karena itu Retno menagaskan Tiongkok wajib untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982. "Keempat, Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepihak, yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," tegas Retno. Selain hal tersebut, Retno juga mengatakan dalam rapat tersebut disepakati pula akan adanya intensifikasi patroli di wilayah Perairan Natuna.

"Dari rapat tadi juga disepakati beberapa intensifikasi patroli di wilayah tersebut dan juga kegiatan kegiatan perikanan yang merupakan hak bagi Indonesia untuk mengembangkannya di Perairan Natuna," kata Retno.

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top