Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah grafik Covid 19 yang belum melandai berpotensi menimbulkan persoalan persoalan baru yang akan berdampak pada kualitas Pilkada. Salah satu problem krusial adalah potensi penyalahgunaan program bantuan sosial (Bansos) kepada masyarakat terdampak Covid 19 untuk kepentingan politik (bakal) calon petahana (incumbent). Hal itu disampaikan direktur eksekutif Citra Institute, Yusa Farchan, dalam keterangannya, Rabu (29/7/2020).
“Sejauh ini, di beberapa daerah, program perlindungan dan jaring pengaman sosial dalam bentuk bansos justru “diboncengi” dengan kepentingan pencitraan kandidat petahana yang merugikan bakal pasangan calon lainnya,” katanya. Menurutnya, jika persoalan ini dibiarkan tanpa pengawasan dan penindakan hukum, maka pelaksanaan pilkada menjadi semakin kompleks karena dibayangi oleh praktek politik transaksional yang dilakukan secara terbuka. Oleh karena itu, pasangan calon petahana, yang secara infrastruktur menguasai sumber daya politik dan ekonomi lokal hendaknya tetap memperhatikan azas transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan program program daerah khususnya program bansos dan hibah yang berkaitan dengan dampak sosial, ekonomi dan kesehatan akibat pandemi Covid 19.
“Proses pemilihan kepala daerah harus menjamin berlangsungnya pertarungan yang fair antar pasangan calon berbasiskan kompetensi, integritas, kapabilitas dan program program yang diharapkan dapat memperkuat literasi elektoral bagi masyarakat dalam rangka menciptakan pilkada yang sehat dan demokratis,” katanya. Yusa menambahkan, bahwa pandemi Covid 19 telah menyebabkan lumpuhnya aktifitas perekonomian terutama di daerah daerah zona merah dan melahirkan kantong kantong kemiskinan baru. Problem utama yang dihadapi tentu saja adalah menurunnya daya beli yang berimbas pada ketidakmampuan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam menyediakan pasokan logistik (kebutuhan pangan) untuk rumah tangga mereka.
“Dalam situasi pandemi, model Bansos Sembako menjadi semakin populis dan berpotensi besar menjadi role model program unggulan para kandidat kepala daerah baik petahana maupun non petahana untuk menjaring suara," katanya. "Pada titik inilah, kecenderungan terjadinya politik transaksional dan praktek praktek vote buying akan semakin intens. Politik uang lagi lagi menjadi masalah pelik yang mewarnai proses sirkulasi kepemimpinan lokal di tengah pandemi,” pungkasnya. Sebelumnyam Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menerbitkan Surat Edaran pada 18 Mei 2020 terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Dalam Surat Edaran tersebut, kepala daerah yang akan kembali mengikuti Pilkada 2020 tidak diizinkan menggunakan dana bantuan sosial (Bansos) sebagai modal atau alat politik. "Mengenai bansos tidak digunakan oleh incumbent untuk politik, kami sudah keluarkan surat edaran tentang masalah validasi data dan lain lainnya, termasuk bansos tidak boleh digunakan untuk Pilkada, ini surat edaran 18 Mei 2020," kata Tito dalam rapat kerja dengan Komisi II secara virtual, Rabu (27/5/2020) seperti dikutip dari Kompas.com. Tito mengatakan, petahana yang diketahui melanggar Surat Edaran tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Kepala Daerah.
"Kalau dilanggar, kami akan gunakan UU nomor 23 tahun 2014 itu dari Mendagri dapat lakukan teguran atau sanksi ketika ada aturan yang dilanggar," ujarnya. Komisioner Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengungkap beberapa bentuk politisasi bantuan sosial (bansos) di masa pandemi Covid 19. Bentuk politisasi pertama, kata dia, adalah bantuan yang diberi label foto kepala daerah.
"Beberapa modelnya, diberi (bantuan) label kepala daerah," kata Afif dalam diskusi onlinebertajuk 'Kala Pandemi, Bansos Jadi Bancakan Pilkada Mungkinkah?,' Senin (20/7/2020) seperti dikutip dari Kompas.com. Politisasi selanjutnya adalah bansos diberi label bantuan partai politik tertentu. Lalu, ada juga bansos yang bersumber dari APBD tetapi diberikan atas nama kepala daerah atau partai politik. Sedangkan yang terakhir adalah penyalangunaan anggaran untuk penanganan Covid 19.
Afif mengatakan, pandemi Covid 19 berpotensi menambah faktor kerawanan di pelaksanaan Pilkada 2020. "Sekarang ada hal baru yaitu wabah Covid 19 dan ini menambah potensi (kerawanan pilkada)," ujarnya. Menurut dia, apabila jumlah pasien Covid 19 disuatu daerah semakin banyak, akan menambah peluang kerawanan dalam pilkada.
Kerawanan tersebut di antaranya melalui penyaluran banasos atau bantuan langsung tunai (BLT).