Dr. KH. Aguk Irawan MN, Lc., MA atau Gus Aguk, begitu ia biasa dipanggil adalah salah satu kiai muda potensial dari Nahdlatul Ulama (NU) yang patut dijadikan inspirasi bagi generasi muda (melenial). Budayawan dengan segudang karya dan prestasi ini lahir di Lamongan 1 April 1979. Pendidikan dasarnya diselesaikan di kampungnya, Kalipang, Sugio Lamongan. Lalu, tingkat menengah di SMP Sunan Drajat, kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Darul Ulum, Langitan, Widang, Tuban. Selama di Pondok itu, ia mendapat bimbingan langsung dari KH. Abdul Wahid Zuhdi dan KH. Ahmad Wahib, juga secara tidak langsung mendapat bimbingan dari KH. Muhammad Marzuqi dan KH. Abdullah Faqih. Kepada dua kiai kharismatik itu ia ngaji bandongan setiap pagi. Selain di pesantren salafiyah, Gus Aguk juga meneruskan sekolah di Madrasalah Aliyah Negeri Babat. Di tempat ini ia pernah belajar teater dan menulis puisi pada guru bahasa Indonesianya, yaitu seorang penyair yang cukup terkenal di Lamongan; Pringgo. Kemudian ia melanjutkan kuliah di Al Azhar University Cairo, jurusan aqidah dan Filsafat, atas beasiswa majelis a’la al islamiyah. Lalu meneruskan jenjang berikutnya di Institut Agama Islam al Aqidah Jakarta, dan UIN Sunan Kalijaga, sampai jenjang doktoral (2017), keduanya atas beasiswa Kemenag RI.
Selama menjadi mahasiswa di Mesir, selain ia dikenal sebagai penulis produktif, juga aktivis mahasiswa pada banyak organisasi. Tahun 2000 ketika penulis paripurna menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Faultas Ushuluddin Al Azhar (PPMI), ia terpilih secara aklamasi menggantikan posisi penulis. Selain itu ia aktif di Kelompok Studi Walisongo, Sanggar Seni Kinanah, PCINU dan lain sebagainya. Ia pernah memenangkan lomba karya tulis tingkat Mahasiswa di Kairo, yang diadakan oleh KBRI bekerjasama dengan Bulletin Terobosan, dan mendapat anugrah Bakhtiar Ali Award, atas artikelnya “Menghayati Soempah Pemoeda untuk Kita”, sebagai pemenang pertama dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2000. Selain itu, ia juga banyak menerjemahkan karya sastra Arab dan buku keislaman. Bila ditelusur pada laman PERPUSNAS, karya terjemahannya ada puluhan. Selain di media mahasiswa, sejak mahasiswa ia juga sangat produktif menulis diberbagai situs internet surat kabar Nasional, diantaranya di Majalah sastra Horison, Kompas, Jawa Pos dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa komunitas seni sering memberinya kesempatan dan kepercayaan menjadi Dewan Juri bertaraf Nasional, diantaranya adalah salah seorang Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award (2007).
Majalah sastra Horison Edisi XXXXI, Nomer 12/2006, memuat tulisan edisi pengarang muda Yogyakarta, dan ia dinobatkan salah satu dari tujuh sastrawan yang dipilih Majalah tersebut, dengan katagori sastawan muda berkarakter. Lalu penghargaan lainnya, diantaranya sebagai Penulis Fiksi Terbaik 2007, dari Grafindo Khazanah Ilmu. Pesantren Award, 2016, sebagai penulis novel terproduktif dari Pesantren Bina Insan Mulia dan Asosiasi Pesantran Salafiah Cirebon. Nominasi novel terbaik Islamic Book Fair 2018, dan lain sebagainya. Buku fiksinya yang sudah terbit sudah 62 buah novel, beberapa diantaranya yang fenomenal adalah sang penakluk badai nobel Biografi Mbah Hasyim Asy'ari (Global Media,2010), Haji Backpacker sebuah Novel (M Book, 2013), Air Mata Tuhan (Imania, 2014), Patah Hati yang Terindah (Dolphin, 2015). Peci Miring, Novel Biografi Gus Dur (Dolphin, 2015) Kartini, Kisah yang Tersembunyi (Dolphin, 2016), Sang Mujtahid Islam Nusantara, Novel Biografi KH.Wahid Hasyim (Imania, 2016), Titip Rindu ke Tanah Suci (Republika, 2017), Senandung Bisu (Republika, 2018), Sosrokartono (Imania, 2018), dan Surat Cinta dari Bidadari Surga (Republika, 2020). Dari sekian banyak karya novelnya itu, sebagian besar sudah dikontrak untuk divisulkan ke layar lebar oleh Starvision, Falcon Picture, Gentah Buana, Tujuh Bintang Cinema, Leo Picture dan Soraya Intercine Film. Dua diantaranya yang sudah tayang dan booming adalah film Haji Backpacker dan Air Mata Surga. Meski dengan prestasi itu, pembawaan Gus Aguk ini tetap kalem, ketika diundang sebagai pembicara baik di Pesantren, organisasi mahasiswa maupun Kampus, ia memposisikan dirinya sebagai santri biasa.
Pada tahun 2009 awal, pria santai ini mendirikan pesantren kreatif Baitul Kilmah, sebagai ladang jihad literasi untuk mencetak kader kader muda penerus budaya literasi. Gratis tanpa dipungut biayanya. Menariknya bagi calon santri mahasiswa yang ingin bergabung, diberi ketentuan harus siap hidup mandiri dengan menulis atau wirausaha. Dari pesantren yang terletak di daerah terpencil, Pajangan Bantul ini, lahir beberapa nama penerjemah dan penulis produktif, diantaranya Imam Nawawi, Muhammad Muhibuddin, A. Zainuddin, Wildan Nurrohmadlon, Moh. Irfan, Ahmad Rozi, John Afifi, Ja’far Musadad, Ali Adhim, Fuad Bawazir, Ahmad Sobirin, Abdul Aziz dan lain sebagainya. Selain santri santri Baitul Kilmah menulis atau menerjemah secara individu, ada juga karya bersama yang fenomenal, lahir dari Baitul Kilmah. Beberapa karya terjemahan berjilid karya pesantren ini yang perlu disebut diantaranya adalah, Kitab Karamatul Auliya’ karya Syaikh Yusuf bin Ismail Nabhani, 4 jilid. Kitab Tafsir al Jilani, karya Syaikh Abdul al Qadir Jaelani, 5 jilid. Kitab Hadits Shahih al Lu’lu’ wa al Marjan, karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, 4 jilid.
Sementara untuk buku diantaranya; Ensiklopedia Pengetahuan al Qur’an dan al Hadist (Asbabul Nuzul dan Asbabul Wurud), 7 Jilid. Ensiklopedia Pengetahuan Sains Islami, 9 jilid dan Ensiklopedia Ulama Nusantara, 9 jilid. Dalam hajatan Muktamar Sastra Pesantren yang diadakan di Pesantren Salafiah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo (2018), kiai Kharismatik dan budayawan KH. Mustofa Bisri, atau Gus Mus, termasuk yang menyebut nama Gus Aguk, sebagai santri sastawan yang karyanya layak dibaca dan patut dibanggakan, karena tahu sopan santun terhadap kitab Suci al Qur’an. Sementara di lingkungan Nadhliyin, beliau memulai sebagai pengurus NU ketika masih remaja, dan aktif di IPNU/IPPNU anak ranting di kampungnya. Kelak ketika ia hijrah ke Cairo Mesir (1997/1998), tercatat sebagai ketua bidang organisasi PCINU Cairo. Kemudian sepulangnya ke tanah air (2002), ia juga menjadi pengurus distruktural NU, mulai di PP LKKNU Pusat dan Lesbumi PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gus Aguk juga tidak hanya berkiprah distruktrual NU, tetapi juga banyak terlibat dijaringan kulturalnya, terutama di LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) pada awal tahun 2000 an. Tercatat, ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Bulletin al Ikhtilaf, LKiS, 2005. Dari pergaulan di LKiS inilah, saat itu dia sangat produktif menulis di sejumlah media masa Nasional. Ia mengaku mendapat inspirasi, karena intens belajar dan bergaul pada senior dan intelektual muda NU Yogyakarta. Di NU, nama Gus Aguk mulai dikenal sejak pra Mukatamar NU di Makasar. Sebagaimana yang terdokumentasi oleh Harian Umum Republika (Sabtu 27 Maret 2010), Gus Aguk beserta pengurus harian Lesbumi DIY lainya, mengkritik keras pada visi dan misi Kandidat Ketua NU saat itu, menurutnya, tak satupun visi dan misi dari tujuh kandidat ketua umum pada Muktamar ke 32 di Makassar memiliki pertimbangan kebudayaan. Padahal, lanjut Gus Aguk yang saat itu didampingi oleh Kiai Zastrow dalam konprensi presnya, Jumat 26 Maret 2010, NU sejak semula merupakan gerakan kebudayaan yang berbasis pada tradisi pesantren yang sangat panjang. Sementara, menurut dia, kebudayaan bagi NU adalah tindakan yang berdasarkan fikiran yang jernih dan hati nurani, berorientasi pada kearifan, menghindari prasangka dan tolong menolong demi kebaikan bersama.
Sehingga tak mengherankan jika pada sosok pendiri NU, kebudayaan dikedepankan daripada sekadar pertimbangan dan langkah politik semata yang dikenal dengan nama politik kebudayaan. Fakta ini perlu ditegaskan karena gerakan kebudayaan NU belakangan hanya berupa retorika, sehingga NU sebagai jam'iyah semakin asing dari warganya sendiri. Pulang dari Muktamar Makassar, Gus Aguk dan kawan kawan di Yogyakarta, menerbitkan Jurnal Kebudayaan Kalimah (Lesbumi), dengan jargon meneguhkan Ahlusunnah wal jamaah wal bid'ah Hasanah. Jurnal ini ditulis oleh banyak aktifis kebudayaan NU, yang sebelumnya sudah sering berkumpul sebulan sekali, keliling seluruh Pesantren Pesantren sekitar Yogyakarta. Dijajaran redaktur Kang Aguk kebetulan sebagai pimpinan redaksi. Sementara sebagai Akademisi, Gus Aguk mengajar di banyak kampus, juga aktif menulis pada berbagai jurnal, baik yang sudah punya reputasi Nasional, maupun Internasional. Tulisannya terbaru "Art Practice At The Time of The Prophet, dimuat di Indonesian Journal of Interdisciplinary Islamic Studies (IJIIS, 2020), sementara karya disertasinya Akar Sejarah Etika Pesantren diterbitkan penerbit Imania (Mizan Group, 2019) dan menjadi rujukan penting mengenai Pesantren.
Karena itu, dengan kiprah dan karya karyanya itu, penulis berpendapat beliau adalah salah satu kader NU yang sangat langka, yaitu sebagai akademisi, kiai, sastrawan, budayawan dan penulis produktif, maka wajarlah kalau ia disebut sebagai salah satu aset berharga NU, khususnya bidang kesusastraan dan kebudayaan. Tak berlebihan disebut sebagai penerus estafet Gus Mus. Wallahu’alam Bishawab. *Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010 2015.